Friedrich Nietzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche (lahir di Röcken dekat Lützen, 15 Oktober 1844 – meninggal di Weimar, 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun) adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno. Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme modern yang ateistis.
Friedrich Wilhelm Nietzsche

Kehidupan

Nietzsche dilahirkan di kota Röcken, di wilayah Sachsen.[1] Orang tuanya adalah pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche (18131849) dan istrinya Franziska, dengan nama lajang Oehler (18261897).[1] Ia diberi nama untuk menghormati kaisar Prusia Friedrich Wilhelm IV yang memiliki tanggal lahir yang sama. Adik perempuannya Elisabeth dilahirkan pada 1846. Setelah kematian ayahnya pada 1849 dan adik laki-lakinya Ludwig Joseph (18481850), keluarga ini pindah ke Naumburg dekat Saale.

Filosofi

Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang ‘kebenaran’ atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme.[1] Nietzsche juga dikenal sebagai “sang pembunuh Tuhan” (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme1 (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).

Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup.

Karya

Karya-karya Nietszche yang terpenting adalah:

  • 1872: Die Geburt der Tragödie (Kelahiran tragedi)
  • 1873—1876: Unzeitgemässe Betrachtungen (Pandangan non-kontemporer)
  • 1878—1880: Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, terlalu manusiawi)
  • 1881: Morgenröthe (Merahnya pagi)
  • 1882: Die fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang gembira)
  • 1883—1885: Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra)
  • 1886: Jenseits von Gut und Böse (Melampaui kebajikan dan kejahatan)
  • 1887: Zur Genealogie der Moral (Mengenai silsilah moral)
  • 1888: Der Fall Wagner (Hal perihal Wagner)
  • 1889: Götzen-Dämmerung (Menutupi berhala)
  • 1889: Der Antichrist (Sang Antikristus)
  • 1889: Ecce Homo (Lihat sang Manusia)
  • 1889: Dionysos-Dithyramben
  • 1889: Nietzsche contra Wagner

Catatan

Nihilisme di sini juga dipahami sebagai ‘kedatangan kekal yang sama (atau dalam terminologi Nietzsche: ‘die Ewige Wiederkehr des Gleichen’) yang merupakan siklus berulang-ulang dalam kehidupan tanpa makna berarti di baliknya seperti datang dan perginya kegembiraan, duka, harapan, kenikmatan, kesakitan, ke-khilafan, dan seterusnya.Selain Nihilisme, Nietzsche juga mengulas mengenai Vitalitas, dan anti establist.

Isi buku/quotes terkenal dalam buku Also Sprach Zarathustra click here

Machiavelli quotes

Memorable Quotes and quotations from Niccolo Machiavelli

Niccolo Machiavelli Italian dramatist, historian, & philosopher (1469 – 1527)

Niccolo Machiavelli – The Prince
– Since love and fear can hardly exist together, if we must choose between them, it is far safer to be feared than loved.

Niccolo Machiavelli – The Prince (1513)
– Nothing feeds upon itself as liberality does.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– To be feared is much safer then to be loved.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– One must be a fox in order to recognize traps, and a lion to frighten off wolves.

Niccolo Machiavelli –
– War connot be avoided; it can only be postponed to the others advantage.

Niccolo Machiavelli –
– If an injury has to be done to a man it should be so severe that his vengeance need not be feared.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– When neither their property nor their honor is touched, the marjority of men live content.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– …people are by nature fickle, and it is easy to persuade them of something, but difficult to keep them persuaded.

Niccolo Machiavelli –
– War is a profession by which a man cannot live honorably; an employment by which the soldier, if he would reap any profit, is obliged to be false, rapacious, and cruel.

Niccolo Machiavelli –
– He who blinded by ambition, raises himself to a position whence he cannot mount higher, must thereafter fall with the greatest loss.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– We have not seen great things done in our time except by those who have been considered mean; the rest have failed.

Niccolo Machiavelli – The Prince (1513)
– Hatred may be engendered by good deeds as well as bad ones.

Niccolo Machiavelli –
– There is no avoiding war; it can only be postponed to the advantages of others.

Niccolo Machiavelli –
– If an injury has to be done to a man it should be so severe that his vengeance need not be feared.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– Is necessary to take such measures that, when they believe no longer, it may be possible to make them believe by force.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– There is no other way of guarding oneself against flattery than by letting men understand that they will not offend you by speaking the truth; but when everyone can tell you the truth, you lose their respect.

Niccolo Machiavelli – quoted in O Magazine, November 2003
– God creates men, but they choose each other.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– …it is a base thing to look to others for your defense instead of depending upon yourself. That defense alone is effectual, sure, and durable which depends upon yourself and your own valor.

Niccolo Machiavelli –
– Ambition is so powerful a passion in the human breast, that however high we reach we are never satisfied.

Niccolo Machiavelli – Discourse upon the First Ten Books of Livy
– Whoever desires to found a state and give it laws, must start with assuming that all men are bad and ever ready to display their vicious nature, whenever they may find occasion for it.

Niccolo Machiavelli –
– There is no avoiding war; it can only be postponed to the advantage of others.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– Men judge generally more by the eye than by the hand, for everyone can see and few can feel. Every one sees what you appear to be, few really know what you are.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– He who has not first laid his foundations may be able with great ability to lay them afterwards, but they will be laid with trouble to the architect and danger to the building.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– A prince should therefore have no other aim or thought, nor take up any other thing for his study but war and it organization and discipline, for that is the only art that is necessary to one who commands.

Niccolo Machiavelli – The Prince (1532)
– There is nothing more difficult to take in hand, more perilous to conduct or more uncertain in its success than to take the lead in the introduction of a new order of things.

Niccolo Machiavelli – The Prince
– There are three classes of intellects: one which comprehends by itself; another which appreciates what others comprehend; and a third which neither comprehends by itself nor by the showing of others; the first is the most excellent, the second is good, and the third is useless.

Niccolò Machiavelli

Niccolò Machiavelli, 1469-1527

Niccolo Machiavelli

Niccolò Machiavelli (lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 – meninggal di Florence, Italia, 21 Juni 1527 pada umur 58 tahun) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans. Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik di masa itu.

Il Principe, atau Sang Pangeran menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seorang seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis.

Karya-karya Machiavelli tidak hanya di bidang politik, tetapi juga sejarah, yaitu; History of Florence, Discourse on the First Decade of Titus Livius, a Life of Castruccio Castrancani, dan History of the Affair of Lucca. Di bidang kesusasteraan, dia pernah menulis suatu tiruan dari the Golden Ass of Apuleius, the play Mandragola, serta Seven Books on the Art of War. Tentu saja di antara karya-karyanya yang paling banyak dikenal adalah The Prince (1932). Isu utama dalam buku ini adalah bahwa semua tujuan dapat diusahakan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir yang dapat dibenarkan. Dan seburuk-buruknya tindakan pengkhianatan adalah penguasa yang dijustifikasi oleh kejahatan dari yang diperintah. The Prince dinyatakan terlarang oleh Paus Clement VIII. Selengkapnya karya-karya Machiavelli dalam bahasa Italia meliputi; Discorso sopra le cose di Pisa (1499), Del modo di trattare i popoli della Valdichiana ribellati (1502), Del modo tenuto dal duca Valentino nell’ ammazzare Vitellozo Vitelli, Oliverotto da Fermo (1502), Discorso sopra la provisione del danaro (1502), Decennale primo (1506 poema in terza rima), Ritratti delle cose dell’Alemagna (1508-1512), Decennale secondo (1509), Ritratti delle cose di Francia (1510), Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (1512-1517), Il Principle (1513), Andria (1517), Mandragola (1518), Della lingua (1514), Clizia (1525), Belfagor arcidiavolo (1515), asino d’oro (1517), Dell’arte della guerra (1519-1520), Discorso sopra il riformare lo stato di Firenze (1520), Sommario delle cose della citta di Lucca (1520), Vita di castruccio Castracani da Lucca (1520), Istorie fiorentine (1520-1525), dan Frammenti storici (1525).

Karya-karya Machiavelli mengakibatkan banyak pihak yang menempatkannya sebagai salah satu pemikir brilian pada masa renaissance, sekaligus figur yang sedikit tragis. Pemikiran Machiavelli berkembang luas pada abad ke-16 dan ke-17 sehingga namanya selalu diasosiasikan penuh liku-liku, kejam, serta dipenuhi keinginan rasional yang destruktif. Tidak ada pemikir yang selalu disalahpahami dari pada Machiavelli. Kesalahpahaman tersebut terutama bersumber pada karyanya yang berjudul The Prince yang memberikan metode untuk mendapatkan dan mengamankan kekuasaan politik. Selain itu, juga terdapat karya lain yang banyak menjadi rujukan yaitu Discourses on the Ten Books of Titus Livy.

Terdapat tiga pandangan berbeda terhadap Machiavelli dilihat dari karya-karyanya. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Machiavelli adalah pengajar kejahatan atau paling tidak mengajarkan immoralism dan amoralism. Pandangan ini dikemukakan oleh Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan.

Pandangan kedua, merupakan aliran yang lebih moderat dipelopori oleh Benedetto Croce (1925) yang melihat Machiavelli sekadar seorang realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya etika dalam politik. Padangan ketiga yang dipelopori oleh Ernst Cassirer (1946), yang memahami pemikiran Machiavelli sebagai sesuatu yang ilmiah dan cara berpikir seorang scientist. Dapat disebutkan sebagai “Galileo of politics” dalam membedakan antara fakta politik dan nilai moral (between the facts of political life and the values of moral judgment).

Inovasi Machiavelli dalam buku Discourses on Livy dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolakbelakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.

Buku-buku abad pertengahan memberikan kepercayaan bahwa penggunaan kekuasaan politik hanya dibenarkan jika dimiliki oleh orang-orang yang memiliki karakter memenuhi nilai-nilai luhur. Jika pemegang kekuasaan menginginkan kedamaian dan tetap menduduki jabatannya, harus bertindak sesuai dengan standar kebaikan dan etika. Mereka hanya akan dipatuhi sepanjang menunjukkan pemenuhan nilai-nilai moral.

Adalah Machiavelli yang pertama kali mendiskusikan fenomena sosial politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Inilah pendekatan pertama yang bersifat murni scientific terhadap politik. Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik. Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan adalah perhitungan. Seorang politikus mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi.

Machiavelli mengakui bahwa hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu tatatan sistem politik yang baik. Namun karena paksaan dapat menciptakan legalitas, maka dia menitikberatkan perhatian pada paksaan. Karena tidak akan ada hukum yang baik tanpa senjata yang baik, maka Machiavelli hanya akan membicarakan masalah senjata. Dengan kata lain, hukum secara keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas merupakan hal yang tidak mungkin jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa. Oleh karena itu, Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas. Seseorang akan patuh hanya karena takut terhadap suatu konsekuensi, baik kehilangan kehidupan atau kepemilikan. Argumentasi Machiavelli dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa politik secara keseluruhan dapat didefinisikan sebagai supremasi kekuasaan memaksa. Otoritas adalah suatu hak untuk memerintah.

Dalam the Prince digambarkan cara-cara agar seorang individu dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan negara. Situasi sosial dan politik dalam buku tersebut dilukiskan dalam kondisi yang sangat tidak dapat diprediksi dan mudah berubah. Hanya orang hebat dengan pikiran penuh perhitungan yang dapat menaklukkan kondisi sosial politik tersebut. Penolakan Machiavelli terhadap penghakiman etis dalam politik mengakibatkan pemikirannya disebut sebagai pemikiran renaisance yang anti-Christ.

Citra Machiavelli yang menentang kekuasaan gereja juga terlihat dalam buku the Discourse yang secara jelas menyatakan bahwa bahwa Kristianitas konvensional melemahkan manusia dari kekuatan yang diperlukan untuk menjadi masyarakat sipil yang aktif. Dalam the Prince juga terdapat penghinaan, disamping penghormatan, terhadap kondisi gereja dan kepausan pada saat itu. Pandangan-pandangan Machiavelli mengakibatkan beberapa penulis seperti Sullivan (1996) dan Anthony Parel (1992) berpendapat bahwa Machiavelli adalah penganut agama pagan seperti masyarakat Romawi kuno.

Untuk memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan.

Nilai (virtú), dalam bahasa Machiavelli dipahami sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginannya dalam situasi sosial yang berubah melalui kehendak yang kuat, kekuatan, serta perhitungan dan strategi yang brilliant. Bahkan, untuk mendapatkan cinta seorang perempuan (Fortune), seorang raja yang idela tidak meminta atau memohon, tetapi mengambilnya secara fisik dan melakukan apapun yang dia mau. Skandal tersebut melambangkan potensi manusia yang sangat kuat di lapangan politik.

Virtú, dalam konsepsi Machiavelli adalah kualitas personal yang dibutuhkan oleh seorang raja untuk mengelola negaranya dan meningkatkan kekuasaannya. Raja harus memiliki kualitas virtú yang paling tinggi, bahkan jika dibutuhkan untuk dapat bertindak sangat jahat. Untuk dapat menjadi seseorang yang memiliki kualitas virtú, raja harus bersifat fleksibel (flexible disposition). Orang yang sesuai untuk memegang kekuasaan menurut Machiavelli adalah seseorang yang dapat melakukan berbagai tindakan dari yang baik hingga yang buruk. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan Virtú adalah segala hal yang terkait dengan kekuasaan. Penguasa Virtú dituntut untuk memiliki kompetensi menjalankan kekuasaan. Memiliki Virtú berarti memiliki kemampuan atas segala aturan yang terkait dengan menjalankan kekuasaan secara efektif. Virtú adalah kekuasaan politik.

Konsepsi lain yang menghubungkan antara Virtú dengan pelaksanaan kekuasaan yang efektif adalah Fortuna. Fortuna adalah musuh dari tatanan politik, merupakan ancaman bagi keselamatan dan keamanan negara. Penggunaan konsep fortuna ini menimbulkan banyak perdebatan. Secara konvensional, fortuna diartikan sebagai keramahan, sesuatu yang lunak dan tidak berbahaya, tetapi juga sifat ketuhanan yang berubah-ubah sebagai sumber dari kebaikan sekaligus keburukan manusia. Sedangkan Machiavelli mengartikan fortuna sebagai kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia yang tidak dapat ditoleransi (uncomprommising fount of human misery), penderitaan, dan musibah. Jika fortuna menentukan kemajuan yang dicapai umat manusia, maka tidak ada seorangpun yang dapat bertindak secara efektif berhadapan dengan ketuhanan.

Dia menggambarkan fortuna menyerupai “satu dari sungai kita yang merusak, yang pada saat marah akan mengubah daratan menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan, mengambil dunia dari satu titik dan meletakkannya pada titik lain; semua orang melarikan diri sebelum banjir; semua orang marah dan tidak ada yang dapat menolak” (one of our destructive rivers which, when it is angry, turn the plains into lakes, throws down the trees and buildings, takes earth from one spot, puts it in another; everyone flees before the flood; everyone yields to its fury and nowhere can repel it). Kemarahan dan musibah tersebut tidak berarti berada di luar kekuasaan manusia. Sebelum hujan tiba, masih mungkin untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan atau mengubah konsekuensinya. Gambaran tersebut dikemukanan oleh Machiavelli untuk menyatakan bahwa fortuna dapat diatasi oleh manusia, namun harus dengan persiapan dengan Virtú dan kebijakan.

Kesuksesan politik bergantung kepada apresiasi berjalannya fortuna. Pengalaman Machiavelli mengajarkan bahwa adalah lebih baik bergerak cepat (impetuous) dari pada berhati-hati, karena fortuna adalah seorang perempuan dan diperlukan untuk menempatkannya di bawah kita, mengacaukan dan menganiayanya. Dengan kata lain, fortuna menuntut respon kekerasan dari mereka yang hendak mengontrolnya.

Jika buku the Prince banyak menimbulkan perdebatan, maka tidak demikian halnya dengan buku the Discourses on the Ten Books of Titus Livy yang oleh banyak ahli dipandang mewakili komitmen dan kepercayaan politik pribadi Machiavelli, khususnya terhadap republik. Dalam semua karyanya, secara konsisten Machiavelli membagi tatanan kehidupan sipil dan politik menjadi yang bersifat minimal dan yang penuh yang memengaruhi pencapaian kehidupan bersama.

Tatanan konstitusional yang minimal adalah di mana subyek hidup dengan aman (vivere sicuro), diatur oleh pemerintah yang kuat yang senantiasa mengawasi perkembangan bangsawan dan rakyatnya, namun diimbangi dengan mekanisme hukum dan institusional lainnya. Sedangkan tatanan konstitusional yang penuh, tujuan tatanan politik adalah untuk kebebasan masyarakat (vivere libero) yang diciptakan secara aktif oleh partisipasi dan interaksi antara kaum bangsawan dan rakyat.

Selama kariernya sebagai sekretaris dan diplomat pada Republik Florentine, Machiavelli mendapatkan pengalaman di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” [but not free] polity). Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang pada saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan yang berkuasa dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali dapat dieliminasi.

Bagaimanapun bagusnya penataan dan kepatuhan hukum dalam rezim yang demikian, menurut pandangan Machiavelli tidak sesuai dengan vivere libero. Sepanjang terdapat kehendak publik untuk mendapatkan kebebasannya, raja yang tidak dapat memenuhinya harus meneliti apa yang dapat membuat mereka menjadi bebas. Dia menyimpulkan bahwa beberapa individu menginginkan kebebasan hanya untuk dapat memerintah yang lain. Sebaliknya, sebagian besar mayoritas rakyat mengalami kebingungan antara kebebasan dan keamanan, membayangkan bahwa keduanya adalah identik. Namun ada juga yang menginginkan kebebasan untuk tujuan hidup dengan aman (vivere sicuro).Machiavelli kemudian menyatakan bahwa rakyat hidup dengan aman (vivere sicuro) tanpa alasan lain dibanding dengan rajanya yang terikat hukum guna memberikan keamanan bagi seluruh rakyat. Karakter kepatuhan terhadap hukum dari rezim Perancis adalah untuk memastikan keamanan, namun keamanan tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan. Inilah batasan dari aturan dari monarkhi, bahkan untuk kerajaan yang paling baik, tidak akan dapat menjamin rakyatnya dapat diperintah dengan tenang dan tertib.

Isi buku/quotes terkenal dalam buku Il Principe (The Prince) click here

Goenawan Mohamad

Goenawan Soesatyo Mohamad

Goenawan Mohamad

Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941; umur 69 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo.

Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.

Masa Muda

Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B Jassin. Goenawan yang biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.

Dunia Jurnalistik

Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Disana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

Goenawan Mohammad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Soeharto diturunkan pada tahun 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohammad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tommy Winata. Pernyataan Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Artha Graha itu.

Selepas jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goenawan praktis berhenti sebagai wartawan. Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York.. Di tahun 2006, Pastoral, sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006. Di tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California.

Dia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.

Karya Sastra

Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan, diantaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir, sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang dari Majalah Tempo. Konsep dari Catatan Pinggir adalah sekedar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Catatan Pinggir mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya di akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot.

Catatan Pinggir, esei pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo, (kini terbit jilid ke-6 dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines (19…..) dan Conversations with Difference (19….). . Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, “dengan raung yang tak terserap karang”.

Kumpulan esainya berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).

Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).

Setelah pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.

Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut “Komunitas Utan Kayu”. Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap pemberangusan ekspresi.

Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian Jaringan Islam Liberal.

Tahun 2006, Goenawan dapat anugerah sastra Dan David Prize, bersama antara lain eseis & pejuang kemerdekaan Polandia, .Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo-Ma. Tahun 2005 ia bersama wartawan Joesoef Ishak dapat Wertheim Award.

Karya terbaru Goenawan Mohamad adalah buku berjudul Tuhan dan Hal Hal yang Tak Selesai (2007), berisi 99 esai liris pendek. Yang edisi bahasa Inggrisnya berjudul On God and Other Unfinished Things diterjemahkan oleh Laksmi Pamuntjak.

Goenawan Soesatyo Mohamad

H.B. Jassin

“Juru Peta” Sastra Indonesia ~H.B. Jassin~

H.B. Jassin

Di samping mendapat julukan “Paus” Sastra Indonesia, Hans Bague Jassin juga dipanggil administrator dan diktator sastra. Ia pernah memukul Chairil Anwar. Dihukum 1 tahun penjara gara-gara cerpen Langit Makin Mendung. Inilah orang yang telah menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia. Lahir di Gorontalo, 31 Juli 1917, mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia, juru peta sastra Indonesia yang tak pernah lelah. Sebagian kisah hidupnya yang disampaikan lewat Leila S. Chudori ini adalah atas permintaan TEMPO.

Tanggal 2 September 1970.

Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Pusat penuh sesak. Ada wartawan, seniman, ulama, mahasiswa, pelajar. Semua memandang saya. Hakim Ketua Anton Abdurrachman Putra, S.H. mengangkat mukanya dan bertanya, “Saudara Jassin, kapan Anda siap membacakan pembelaan Anda?” “Sekarang.” Suara saya meluncur, tegas dan pasti.

Hari itu juga saya memang mantap membacakan pembelaan cerpen Langit Makin Mendung karangan Ki Panji Kusmin. Sudah saya siapkan sejak keributan meletus di Medan, sepanjang 100 halaman, setelah cerpen yang dimuat di majalah Sastra itu beredar. Saya berdiri sambil membaca. Saya lihat Hamka, saksi yang memberatkan, mendengarkan dengan saksama. Ruang pengadilan begitu hening. Seluruh ruangan hanya terisi oleh suara saya yang bergelombang dan penuh keharuan.

Saya amat yakin bahwa dunia imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Dan hingga kini, saya tetap percaya bahwa imajinasi tak layak diadili dan disetarakan dengan dalil agama yang punya sejarahnya sendiri. Hampir tiga jam saya membacakan pleodoi bagi imajinasi pengarang yang hingga kini belum pernah saya lihat batang hidungnya itu.

“Apakah kita harus memaksa seniman mendiamkan hati nuraninya, membutakan matanya, menulikan telinganya, mematikan perasaannya, dan melumpuhkan pikirannya buat hal-hal yang terjadi di sekitarnya?” tanya saya dalam pembelaan itu. Akhirnya hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun bagi saya. Tapi hingga kini saya tak sempat mengalami pengapnya empat tembok mati itu.

Saijah dan Adinda

Jika saya tengok ke belakang dan mengenang peristiwa demi peristiwa satu per satu, rasanya saya sedang membuka dokumen kehidupan. Lihatlah itu, si Jassin kecil yang sedang bermain-main di pekarangan di suatu sore pada 1924. Kala itu saya baru tujuh tahun. Kami berdua, Ibu dan saya, tinggal di Gorontalo. Kata Ibu, Ayah sedang bekerja di Balikpapan. Tapi kemudian saya ketahui bahwa mereka sedang berpisah untuk sementara. Tiba-tiba seorang tuan berdiri tegak di pekarangan. Ia mengenakan helm dan melangkah menghampiri saya. Dipeluknya tubuh saya. Saya memberontak minta dilepaskan.

Ternyata, tuan itu adalah ayah saya. Rupanya, Ayah dan Ibu memutuskan untuk rujuk. Hari-hari bersama Ayah kembali adalah hari penuh disiplin. Sebagai anak tunggal saat itu kakak perempuan saya, Hapsah, meninggal di Sangihe — saya diharapkan Ayah berhasil dalam pendidikan. Ayah saya sendiri seorang otodidak. Bacaannya sangat luas, dari fiksi hingga ilmu bumi dan alam. Meski ia bekerja di BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) antara 1902 dan 1905, ia tidak memiliki ijazah HIS (Hollandsch Inlandsche School). Tapi karena bacaannya yang luar biasa, ia mampu ujian dan lulus Klein Ambtenaar Examen (ujian persamaan HIS).

Mungkin karena itulah Ayah lebih menyukai saya belajar atau membaca buku daripada bermain. Ayah benar-benar mengondisikan saya untuk terus-menerus akrab dengan bacaan. Tak jarang ia minta saya membacakan koran-koran berbahasa Belanda ketika ia beristirahat makan siang. Selain koran Belanda, Ayah juga berlangganan Suara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), majalah dari partai yang didirikan oleh dr. Soetomo. Itu sebetulnya terlarang bagi seorang kerani BPM yang baik.

Lemari buku Ayah selalu saya buka. Saya lalap, termasuk yang terlarang. Bayangkan, Roos van Batavia dan Melati van Agam sudah saya baca, padahal itu bukan bacaan anak-anak. Karya sastrawan Prancis, Eugene Sue, yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda jadi De Verborgenheiden van Parijs (Rahasia-Rahasia Kota Paris) saya lahap pula. Ada lagi empat serial buku Sexuele Zeden in Woord en Beeld (Tingkah laku seksual dalam Kata dan Gambar) yang diam-diam saya nikmati pula …. Karena di kota saya tidak ada HIS, Ayah menyuruh saya berguru pada seorang istri kerani, teman Ayah. Dan ketika HIS didirikan di Gorontalo pada 1926, saya langsung masuk kelas 2.

Kegemaran saya membaca buku kemudian ditunjang oleh fasilitas 2 macam perpustakaan: perpustakaan untuk anak-anak dan untuk umum. Dari perpustakaan umum sering pula saya meminjam buku untuk Ayah. Pelajaran bahasa di sekolah itulah yang kemudian memperluas perhatian saya pada sastra. Ketika itu anak-anak HIS diwajibkan menghafal sajak-sajak Belanda dan membacakannya di muka kelas. Terkadang kami diperintahkan bercerita dalam bahasa Belanda. Maksudnya agar bisa bersentuhan langsung dengan bahasa tersebut tanpa terlalu dipagari tata bahasa. Kami juga belajar bahasa Melayu. Buku bacaan bahasa Melayu kami yang pertama adalah Rempah-Rempah. Melalui bacaan ini saya masuk ke dalam dunia binatang yang mampu berkomunikasi.

Baru kemudian, ketika saya sudah kuliah di Fakultas Sastra, saya ketahui bahwa cerita-cerita itu diambil dari Hitopadesya, buku sastra anak-anak yang sangat terkenal dan tersebar di banyak negara di dunia. Buku lain yang melekat dalam diri saya ketika anak-anak ialah karya klasik Melayu tulisan Arab, Hikayat si Miskin. Ketika saya duduk di kelas 4 HIS, saya berkenalan dengan sebuah cerita yang di kemudian hari terus-menerus meringkus perhatian saya: Saijah dan Adinda. Kepala sekolah membacakannya di muka kelas dengan mimik dan intonasi yang sesuai dengan tuntutan cerita. Saijah dan Adinda merupakan bagian dari roman besar Max Havelaar, sebuah roman serius karya pengarang Belanda, Multatuli.

Saat itu kami belum dapat menangkap seluruh keindahan karya dalam bahasa Belanda itu. Tapi saya sudah dapat merasakan kesedihan yang diungkapkannya. Seingat saya, di situlah saya jatuh cinta pada buku-buku sastra. Ketika suatu kali saya jatuh sakit, Ayah bertanya apa yang saya inginkan sebagai oleh-oleh. “Buku,” jawab saya serta-merta. Ia tersenyum dan pulang membawakan buku-buku penuh gambar. Meski saya sedang sakit, betapa bahagianya saya membaca buku-buku itu.

Ketika di HIS itu pula saya belajar menulis. Kami sering dibawa piknik oleh guru-guru, dan pulangnya diwajibkan menulis tentang perjalanan itu. Tulisan yang dianggap baik dibacakan di muka kelas. Dan, ah, si Jassin kecil ketika itu dikenal sebagai voorlezen, si tukang baca cerita yang baik. Bayangkan, waktu itu saya baru kelas 4 HIS. Saya digandeng untuk membacakan cerita di muka anak kelas 5. Saat itu saya juga mencoba-coba menulis puisi. Lahirnya puisi ini karena kekaguman saya pada seorang gadis manis bernama Mastinah. Ia bersuara merdu dan pandai mengaji. Saya tidak mengenalnya, hanya melihat fotonya di album. Ada perasaan untuk berkomunikasi dengannya. Tapi saya tak tahu alamatnya. Maka, lahirlah puisi itu. Bayangkan, ketika itu saya baru berusia 12 tahun. Tapi celaka. Ayah mencurigai saya. Saya sangat takut dan malu. Ketika itu saya tengah berlayar. Maka, cepat-cepat saya buang sajak itu ke laut. Waduh, sayang sekali ….

Sekitar tahun 1933, saya mulai menginjak HBS Medan. Pengetahuan dan kecintaan saya terhadap sastra mulai menukik. Saya berkenalan dengan kesusastraan Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Saya harus membaca sekitar 24 buku sastra Belanda, dan untuk bahasa lainnya masing-masing delapan buku. Saya menelaah buku-buku itu dengan intens, dari persoalan plot hingga karakterisasinya. Inilah perjumpaan awal saya dengan pelajaran evaluasi karya sastra secara akademis. Helai pertama dokumen kehidupan saya di HBS melontarkan saya pada kenangan seorang guru sastra Belanda, Korpershoek. Seorang yang gagah, menarik, dan bersuara bagus. Dialah yang memperkenalkan saya pada pendekatan kritik sastra dan cara mendalami karya-karya klasik. Dia pula yang memperkenalkan saya pada De Tachtigers Beweging, Gerakan 80-an di Belanda. Begitu kagum saya pada pengetahuan sastranya, hingga saya ingin membagi kesenangan saya dengannya.

Saat itu, saya sudah menikmati majalah sastra Pujangga Baru. Nama-nama Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane menumbuhkan kekaguman saya karena karya-karya mereka yang tak kalah dengan sastra Belanda. Maka, dengan penuh semangat, saya tunjukkan majalah itu kepadanya. “Tuan, kami juga memiliki Tachtiger Beweging di Indonesia.” Tapi si tuan hanya melirik dengan ekor matanya. Aduh, sakit hati saya dengan sikap guru yang saya kagumi itu. Rasa nasionalisme saya terpukul. Saya sangat mencintai tanah air dan bahasa saya. Kenapa ia tak menghargai karya sastra Indonesia? Sejak itulah saya bertekad bekerja penuh bagi sastra Indonesia.

Rupanya, kekecewaan terhadap Korpershoek ada hikmahnya, menumbuhkan tekad pada diri saya. Lembaran dokumen kehidupan saya selanjutnya adalah surat-surat Leila. Ah, mengingat Medan artinya mengingat Leila. Seorang gadis Tapanuli yang besar di Solok. Seorang gadis yang bertutur lembut dan penuh perhatian. Seorang yang memiliki senyum yang tetap mengikuti saya hingga ke Gorontalo. Saya bertemu dengan Leila di perkumpulan pemuda Inheemse Jeugd Organisatie. Saya sekretaris perkumpulan itu, sedangkan Leila anggotanya. Mulanya biasa saja. Di pertemuan-pertemuan itu, kami sering berbincang. Meski perhatian Leila tumpah pada saya, saya belum menyadari arti Leila hingga saya ke Gorontalo. Hubungan kami lebih banyak melalui surat-menyurat. Surat-surat itu saya kirim dari Jakarta, karena pada 19 itu saya sudah pindah ke Jakarta, sementara Leila mengirimkan balasannya dari Medan. Surat-menyurat itu mengungkapkan perasaan-perasaan kami.

Suatu hari di akhir 1941, ada ketukan di pintu rumah. Ah, senyum Leila mengembang. Kami pun mengisi pertemuan itu dengan jalan-jalan, naik perahu di Tanjungpriok di bawah sinar bulan. Saat itu, kami belum membicarakan soal pernikahan. Yang saya ingat betul adalah “rasa senang”. Kemudian Jepang datang, dan hubungan kami pun terputus. Dan, ah, orangtuanya tak dapat menunggu keadaan yang tak pasti itu. Akhirnya, ia dikawinkan dengan orang lain. Hati saya runtuh. Itulah sebabnya, barangkali, saya tak terlalu bahagia untuk mengenang hal yang sudah lalu.

Jadi Wartawan Medan, bagi saya, juga mengingatkan pada seorang tokoh pers nasional, Adinegoro. Pada akhir 1930-an, semangat pemuda sedang meluap-luap menginginkan kemerdekaan. Ketika itu Adinegoro memimpin dua penerbitan, yaitu harian Pewarta Deli dan majalah Lukisan Dunia. Saat itu saya sudah 17 tahun dan mulai menulis di beberapa media, termasuk di dua penerbitan yang dipimpin Adinegoro itu. Namun, saat itu saya belum membahas sastra secara intens. Satu-satunya esei yang saya tulis saat itu, tentang aliran romantik. Ketika saya duduk di kelas III HBS, timbul keinginan belajar jurnalistik. Saya ingin membuktikan kemampuan saya menulis. Kebetulan, saya libur dua bulan. Malam-malam, mata saya terbuka lebar memikirkan ide baru ini. Maka, esok paginya, dengan celana pendek, saya bergegas ke rumah Pak Adinegoro. Saya ketuk pintu rumahnya. Ia sendiri yang keluar mengenakan kimono. Rupanya, ia baru siap hendak mandi. “Saya ingin belajar jurnalistik dari Tuan.” “Wah, saya tak punya waktu. Tapi, kalau mau langsung praktek, datang saja ke kantor. Kau bisa belajar menerjemahkan berita-berita yang dikirim kantor berita asing, dan menyusunnya menjadi tulisan. Bagaimana? Kapan mau mulai?” “Sekarang, Tuan,” jawab saya mantap.

Hari itu juga saya berkenalan dengan dunia jurnalistik. Dimulai dari menerjemahkan macam-macam berita dari kantor berita Aneta (yang kemudian menjadi Antara), kemudian belajar memperbaiki dan mengedit hasil laporan wartawan. Saya juga belajar membuat reportase, stenografi, dan sekaligus memotret. Lama-kelamaan saya dipercaya ikut menonton review film-film baru. Karena saya lagi magang, saya tak mendapat gaji. Tapi saya merasakan manfaat jurnalistik yang luar biasa. Terlebih lagi setiap kali tulisan saya dimuat, saya mendapatkan honorarium satu ringit — jumlah yang besar pada masanya.

1939 Masa HBS usai.

Sebuah telegram dari Gorontalo dan kiriman uang 75 gulden menginginkan kedatangan saya. Dalam perjalanan pulang ke Gorontalo, saya mampir di Batavia, menginap di rumah keluarga Daud di kawasan Petojo. Saya ajukan keinginan saya yang sangat, untuk bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana, seorang sastrawan yang namanya sudah menjulang saat itu.

Pertemuan pertama mengesankan. Kami berbicara, berbicara, dan berbicara. Kami sama-sama saling melontarkan pendapat tentang majalah Pujangga Baru, tentang kesusastraan, dan tentang bahasa. Bahkan, kami sudah sempat terbelit dalam sebuah perdebatan. “Bahasa Belanda lebih enak digunakan dibandingkan dengan bahasa Indonesia? Tidak,” kata Takdir dengan tegas dan mata berkilat. Kilat mata yang masih terus terlihat hingga kini di usianya yang sudah mencapai 82 tahun. Saya bersikeras bahwa bahasa Belanda lebih enak di lidah. Ketika saya berlayar menuju Gorontalo, sesuatu yang lucu terjadi. Rupanya, surat Takdir juga ikut berlayar di kapal yang sama — begitu saya mendarat, saya menerima suratnya. “Di Balai Pustaka ada lowongan untuk pendidikan Hoofdredacteur (pimpinan redaksi). Jika Tuan berminat, datanglah,” bunyi surat itu. Namun, kegembiraan saya akan tawaran itu harus saya tunda karena keinginan Ayah yang berlainan. Saya harus tinggal beberapa lama di Gorontalo, untuk magang di kantor asisten residen. Sebuah pekerjaan yang tak pernah saya bayangkan. Mengayuh sepeda, bermandi peluh pulang-pergi kantor. Dan setiap akhir bulan, saya hanya menonton rekan-rekan pegawai menghitung lembaran gaji mereka. Tapi, tentu banyak juga yang saya pelajari di kantor ini. Antara lain, bagaimana caranya berkorespondensi yang baik dan melakukan pengarsipan.

Rupanya, kerja administratif inilah yang kemudian membekali saya belajar mendokumentasikan karya-karya sastra di kemudian hari. Tapi, saya merasa itu bukanlah tempat saya. Saya lelah. Dan saya harus ke Batavia untuk bekerja di Balai Pustaka. Ketika akhirnya saya sampaikan keinginan yang tak tertahankan ini, Ayah tak membantah. Maka, saya pun berlayar kembali ke Batavia. Batavia Pagi hari, 1 Februari 1940. Di kantor redaksi Balai Pustaka, Takdir mengerutkan keningnya, “Tuan siapa?” tanyanya memandangi pemuda berjas dan berdasi yang berdiri di hadapannya. Saya tunjukkan suratnya setelah berlayar bersama saya ke Gorontalo, barulah wajah Takdir mengembangkan senyum, “Ah, ya, ya, ya….”

Hari itu juga, saya duduk bersama-sama. Tulis Sutan Sati, Armijn Pane, Aman Dt. Modjoindo, Nur Sutan Iskandar, dan, tentu saja, Takdir Alisjahbana. Saya segera ikut dalam tim untuk meresensi buku-buku yang kemudian dikirimkan ke berbagai media. Resensi ini saya lakukan dengan sungguh-sungguh. Dan semangat saya mendokumentasikan tulisan-tulisan itu baru terlihat gunanya kemudian ketika semuanya dikompilasikan menjadi Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei yang kemudian mencapai empat jilid. Armijn juga sangat bersemangat memperkenalkan saya kepada banyak pemikiran Barat. Terutama dengan Freud, nama yang begitu banyak mempengaruhi penulisan Armijn dalam romannya, Belenggu, karya sastra Indonesia pertama yang menggunakan segi psikologi dalam.

Armijn juga menganjurkan saya membaca buku-buku filsafat. Begitu lengkapnya perpustakaan Balai Pustaka, hingga saya berkesempatan menjelajahi pemikiran-pemikiran Schopenhauer, Nietzsche, dan beberapa pemikir eksistensialis. Saya mempelajari intensitas hidup Nietzche melalui karyanya Also Sprach Zarathustra. Inilah pemberontakan terhadap moral dan pendidikan di Eropa yang saat itu dibelit oleh doktrin agama Kristen. Lalu, saya baca pula Schopenhauer. Dia bertentangan dengan Nietzsche. Dunia ini maya, demikian Schopenhauer. Tidak, tolak Nietzsche, dunia ini bukan impian. Dunia ini kita. Manusia. Kitalah yang memutar dunia ini.

Sementara itu, eksistensialisme mendarat di Indonesia sekitar tahun 1945. Saya pun berkenalan dengan Sartre, Camus, juga pemula-pemulanya. Tentu saja, tak hanya pemikiran Barat yang saya geluti masa itu. Saya juga membaca filosof India, seperti Krishnamurti. Kebetulan, waktu itu saya bergabung dalam perkumpulan teosofi Blavatsky Park. Apa yang saya dapatkan dari teosofi? Perasaan bebas. Kebebasan. Suatu perasaan yang amat langka didapatkan dan diberikan. Satu hal yang saya ingat ialah: janganlah kita memaksakan anak-anak kita untuk menjadi apa yang kita kehendaki. Kenapa? Lihatlah alam sekitar kita. Begitu ragam pohon-pohon yang bertumbuhan di sekeliling kita. Ada pohon kelapa, ada pohon mangga, dan yang lain-lain. Mereka semua tumbuh secara alami menurut kodratnya. Tak bisa kita paksakan pohon-pohon ini menjadi pohon yang kita kehendaki. Jalan pikiran ini sangat meresap ke dalam diri saya. Selain kebebasan, saya juga belajar menemukan diri sendiri. Saya belajar membebaskan dan menempatkan diri dalam hidup ini. Saya belajar banyak dari perkumpulan ini. Jadi, inilah dokumen kehidupan saya di tempat saya mengembara dalam berbagai alam pemikiran. Dari kiri, kanan, utara dan selatan. Saya larut di dalamnya, tapi terlepas dari pertentangan-pertentangan di antara mereka. Karena itu, semua pertentangan di antara berbagai pemikiran filsafat itu tetap harmonis dalam diri saya.

Karena sikap saya pada pemikiran-pemikiran ini tak lepas dari keinginan untuk mempelajari perkembangan zaman. Saya tak ingin seperti Sutan Takdir yang, menurut saya, tak mau menghargai perkembangan-perkembangan generasi muda. Misalnya sikap Takdir yang sulit sekali menghargai penemuan-penemuan dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Selain sikap ingin mengikuti perkembangan zaman, keharmonisan dalam diri ini juga didukung oleh penghayatan saya terhadap isi Al Quran. Rasanya, pemikiran Barat mana pun tak akan mengganggu religiusitas saya. Ini adalah sebuah proses penghayatan yang sangat berbeda. Saya sangat yakin bahwa apa yang tersebut dalam Al Quran itu adalah ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Lihatlah, isinya begitu luas. Begitu tinggi. Begitu dalam. Dan bahasanya sangat indah. Tak ada satu bagian pun yang kurang dari bagian yang lain dalam kebenaran dan keindahannya. Jadi, biarlah Nietzsche mengatakan “Tuhan telah mati”, atau Lekra memaki-maki saya. Tapi, isi tubuh dan batin saya sangat penuh dengan keyakinan saya pada ayat-ayat Allah.

Chairil Anwar

Seperti halnya dengan Leila, pertemuan saya dengan Chairil terjadi di perkumpulan kami di Medan. Bedanya, saya sudah melihat nama Chairil tercantum sebagai anggota redaksi Ons MULO Blad. Tulisan-tulisan Chairil, masa itu, berbentuk prosa. Saat itu Chairil baru 14 tahun, sedang saya lima tahun lebih tua. Di perkumpulan kami yang mengorganisir kegiatan perpustakaan dan olahraga, saya bertemu dengan tubuh kurus itu. Ia senang sekali bermain pingpong. Ia selalu yakin pasti menang. Setiap kali mengalahkan lawan, Chairil berjingkrak, menjerit-jerit, dan bertepuk tangan. Tingkah laku inilah yang menarik perhatian saya. Ah, jadi inilah Chairil Anwar, pikir saya.

Perkenalan saya dengan Chairil selanjutnya terjadi di Batavia. Buat banyak orang, terutama para peminat sastra, mungkin ini satu dokumen yang terpenting dalam hidup saya. Ketika itu Jepang sudah masuk. Saya dipindahkan ke majalah Panji Pustaka yang dipimpin Armijn Pane. Sedangkan saya menjabat wakil pemimpin redaksi. Saat itu saya juga sedang getol menjelajahi toko buku Van Dorp dan kawasan Senen mencari buku-buku bekas. Buku-buku itu saya kumpulkan karena saya mulai punya keinginan untuk membangun perpustakaan sendiri dan tidak bergantung pada perpustakaan Balai Pustaka belaka.

Saya ingat, di antara banyak buku yang saya beli setiap saya terima gaji itu ada tiga buku bahasa Jerman yang saya sukai. Yang pertama berjudul Naturalismus, yang mengulas aliran naturalisme yang kedua Um Banne des Expressionismus yang berbicara tentang ekspresionisme. Sedangkan yang ketiga, Neue Sachlichtheit, yang mendiskusikan kesederhanaan baru. Saya sangat tertarik pada ekspresionisme yang lebih langsung menyuarakan batin. Berbeda dengan naturalisme yang memberikan segala detail tentang pikiran dan kenyataan dari kelahiran hingga kematian.

Suatu siang, di sekitar 1943. Saya sedang duduk mengamati naskah, ketika seorang kurus, bermata merah, dan berambut kusut memasuki Balai Pustaka. Disodorkannya kertas-kertas itu. “Nih, sajak saya,” kata pemuda kurus itu yang tiada lain dari Chairil Anwar, dengan suara lantang.

Nisan untuk Nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta.

Saya tatap wajah kurus dan mata merah itu. Sepasang mata galak yang nyala dan sarat dengan keinginan. “Bagus sekali,” kata saya. Lalu kami mulai membicarakan sajak yang ditulis pada Oktober 1942 itu. Itulah perkenalan saya yang lebih erat dengan Chairil Anwar. Saya usulkan sajak itu dimuat di Panji Pustaka. Namun, Armijn menolaknya karena individualisme Chairil yang terlalu dikedepankan. Padahal, saat itu Jepang sedang sibuk menjejalkan slogan kebersamaan Asia Raya. Dan, menurut Armijn, elemen kebaratan Chairil yang tampil jelas dalam sajaknya tidak tepat dimasyarakatkan. Ini sangat saya sayangkan. Saya merasa sajak Chairil perlu diketahui publik.

Belakangan saya ketik sajak-sajaknya yang berjumlah 20 buah itu rangkap enam. Saya sebarkan pada Takdir, Mohammad Said, Sutan Sjahrir (yang tiada lain paman Chairil) dan teman-teman lain, sedang aslinya saya simpan. Suatu hari Chairil menelepon. “Jassin, aku minta sajak-sajak asliku. ” Saya tanyakan buat apa ia meminta kembali sajak tulisan tangannya itu, karena saya ingin menyimpannya sebagai dokumentasi. “Kau juga untuk apa menyimpan-nyimpan? Itu sajak kan aku punya.” Saya jawab, “Kalau demikian maumu, baiklah.” Sajak tulisan tangan itu saya kembalikan. Tapi sampai sekarang saya masih menyimpan sajak-sajak tulisan tangan Chairil yang lain. Kenapa saya begitu mempertahankan kelebihan sajak-sajak Chairil? Saya melihat pengaruh ekspresionisme dalam karyanya. Lihatlah baris-baris yang terdiri dari satu atau dua kata dalam sajak yang berjudul 1943: Mengaum! Mengguruh! Dalam buku Drift en Bezinning (Nafsu dan Pengendapan) yang berbicara mengenai persajakan dalam kesusastraan Belanda, diulas sajak-sajak yang harus melalui proses pengendapan dan sublimasi.

Saya kira sajak-sajak demikianlah yang mewarnai karya Chairil. Bait-baitnya tak hanya sekadar letusan-letusan saja. Ia tak akan pernah puas dengan sajak yang sekali jadi. Berhari-hari ia bisa berjalan dengan satu kata, lalu dikombinasikannya dengan kata lain. Ia pikirkan. Ia rasakan. Ia matangkan. Semua harus melalui proses pengendapan yang lama sekali. Kesan saya ini juga semakin kuat ketika terjadi insiden yang tak pernah saya lupakan. Di tahun yang sama, Jepang mendirikan sebuah pusat kebudayaan. Sementara itu, dengan terbentuknya Himpunan Sastrawan Angkatan Baru, Armijn Pane dan kawan-kawan lain sering mengadakan diskusi sastra. Dalam diskusi itu saya mendapat giliran pertama berceramah. Pada waktu itu, saya masih agak terpengaruh oleh slogan Jepang yang menekankan segalanya untuk Asia Timur Raya. Saya katakan bahwa kita harus memberikan semangat perjuangan melalui karya sastra. Yang saya sebutkan sebagai contoh adalah sajak-sajak Ipih Hadi atau Asmara Hadi. Apa yang terjadi? Malam itu juga Chairil mengejek. “Itu semua cuma teriakan-teriakan. Semua orang juga bisa bikin sajak seperti itu.” Dia lantas melompat ke papan tulis. “Inilah contoh sebuah sajak,” katanya lantang. Aku. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang….

Terjadi perdebatan panas. Chairil menganggap sajak yang saya jadikan contoh tidak jujur keluar dari hati penciptanya. Lama-kelamaan saya terdiam juga dan mulai melihat kebenaran Chairil. Saya sangat menyesal telah membuat ceramah seperti itu. Rosihan Anwar yang saat itu hadir memberi komentar melihat sepak terjang debat Chairil, “tapi kalau Saudara bersikap seperti itu, bisa mati digebuk orang . . . ” Chairil dengan “keakuan”-nya memang menunjukkan ketakpeduliannya. Buyung Saleh bahkan mengatakan sikap Chairil dalam sajaknya tak baik dan itu hasil dari orang yang tak mau berpikir panjang. Sajak Chairil yang dianggap individualistis ini ditolak oleh harian Asia Raya karena dianggap tidak sesuai dengan cita-cita Asia Timur Raya ketika itu. Akhirnya sajak Aku dimuat di Panji Pustaka. Namun, judulnya terpaksa diganti jadi Semangat.

Buat saya, hal itu justru merusak identitas sajak itu sendiri, yakni keindividuannya. Persahabatan saya dengan Chairil berlangsung terus. Dia memang tidak punya pekerjaan tetap. Dia memilih mengabdi pada seni. “Jassin, dalam kalangan kita sifat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati . . . ,” demikian tulis Chairil pada saya dalam perjalanannya ke Jawa Timur, 8 Maret 1944. Chairil sering gelisah dengan sajak-sajaknya. Setiap kata dipikir dan ditimbangnya benar. “Jassin prosaku, puisiku juga, dalamnya tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernword kernbeeld . . . ,” katanya dalam kartu pos dari Paron, Jawa Timur.

Chairil datang mengunjungi rumah saya atau kantor, keluar-masuk semaunya saja. Tingkah lakunya sangat seenaknya. Dia akan mengangkat kaki dan berbicara begitu lantang ketika mengkritik orang. Pengarang-pengarang tua seperti Dt. Modjoindo dan Tulis Sutan Sati banyak yang tak menyukai sikapnya. “Siapa anak muda yang bertingkah seperti itu?” Memang tak mudah untuk menyenangi tingkah laku Chairil. “Gantung saja dia,” kata Dt. Modjoindo dengan muka sebal. Bila dia masuk ke rumah, dan saya tak ada, dia akan meminjam buku-buku atau mesin ketik saya. Ada yang dikembalikan dan ada pula yang tidak, misalnya Belenggu. Saya kesal buku-buku ini tak kembali, karena saya sudah memberi catatan-catatan di pinggirnya. Terkadang dia datang naik becak, dan dia minta saya membayarnya. Atau dia akan menunjukkan sajak-sajaknya lalu bercerita bahwa pamannya, Sjahrir, tak menyukai sajaknya Diponegoro. Padahal, menurut saya, itu adalah salah satu sajaknya yang menunjukkan bahwa ia juga seorang yang patriotik. Tapi ia gelisah juga jika dikritik pamannya.

Tahun 1945, ketika kami menerbitkan majalah Pantja Raja sebagai pengganti Panji Pustaka, sajak-sajak Chairil mulai bertaburan. Namanya menjulang tinggi. Dan Chairil tetap tak pernah berubah. Aksi militer pertama meletus. Kami semua keluar dari Balai Pustaka, dan jadilah saya penganggur. Tapi itu hanya berlangsung sebentar, karena Anjar Asmara mengajak saya bekerja di Mimbar Indonesia.

Suatu hari, di ruang redaksi, pelukis Baharuddi mengatakan ada sesuatu yang mengejutkan saya. “Menurut Taslim Ali, ada kemiripan antara sajak Krawang-Bekasi karya Chairil dan The Dead Young Soldiers tulisan Archibald MacLeash.” Saya sempat kecewa juga mendengar pernyataan ini, meskipun saat itu saya belum pernah membaca sajak MacLeash. Tapi saya tetap bertanya-tanya, kalau pun itu sajak plagiat, kenapa bisa begitu bagus. Apakah memang sajaknya yang bagus atau terjemahannya yang bagus? Terjadilah debat di antara kawan-kawan. “Ini bahasa Chairil. Tak mungkin sajak ini hasil plagiat. Rasa hidup yang tercermin dalam Krawang-Bekasi adalah rasa hidup Chairil,” kata pengarang Balfas yang menyenangi karya-karya Chairil. Saya masih bertahan pada keraguan. Saya pikir, kalau pun ada persamaan, saya rasa tak mungkin sajak itu jiplakan.

Ketika suatu kali sajak The Dead Young Soldiers tiba di meja saya, saya perhatikan dengan saksama. Ternyata, ada beberapa perbedaan yang mendasar antara kedua sajak itu. Lihatlah, kata-kata dalam sajak Chairil begitu bagus dan gambarannya lain sama sekali dengan sajak MacLeash. Memang mereka membicarakan hal yang sama. Tapi kalaupun orang mengklaim Krawang-Bekasi adalah sajak terjemahan, ya sebenarnya tidak juga. Saya merasa bahwa sajak ini sungguh-sungguh sesuatu yang dirasakan Chairil Anwar. Katakanlah, sajak MacLeash itu adalah katalisator untuk penggerak dan penciptaan Krawang-Bekasi. Akhirnya saya menyetujui pendapat Balfas. Oleh karena pengungkapan sajak Chairil ini lain, sajak ini tetap Chairil. Saya tak mengatakan sajak itu asli Chairil. Saya tetap menunjukkan ia dipengaruhi sajak MacLeash, tapi Krawang-Bekasi tetap punya pribadi sendiri.

Chairil bukannya manusia yang tidak butuh uang. Suatu kali ia memang membutuhkannya. Lalu ia menerjemahkan sajak pujangga Tiongkok Hsu Chih-Mo, dengan judul Datang Dara Hilang Dara. Dan dicantumkannya namanya sendiri. Dan inilah yang membawa kami pada suatu perkelahian. Saat itu tahun 1949, saya sedang bermain sandiwara di Gedung Kesenian Jakarta. Di belakang layar, saya duduk dan mencoba memasuki sebuah peran. Malam itu saya bukan Jassin. Saya adalah seorang mantri yang bekerja pada seorang apoteker. Rosihan Anwar yang berperan sebagai apoteker itu menyimpan keinginan untuk menghancurkan musuh dengan alat peledak penemuannya. Dan saya, dalam peran itu, mengetahui rahasia ini. Tapi saya tak boleh membuka mulut. Ini semua sudah diatur dalam lakon Api karya Usmar Ismail yang juga menyutradarai sandiwara ini.

Sementara saya duduk meresapi peran itu, tapi hei, kenapa si kurus itu lalu-lalang di muka saya? “Hmh . . . ,” dia mencibir. Dan segera berkelebat ingatan saya pada tulisan terakhir saya di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran dan Plagiat. Dan saya segera tahu arti cibiran itu. Meski saya membela Krawang-Bekasi, tak pelak Chairil merasa tersindir dengan tulisan saya itu. “Kamu cuma bisa menyindir saja! Tak ada yang lain!” teriaknya. Saat itu saya sudah telanjur menghayati tokoh mantri yang tertekan. Dan hati saya jadi panas. “Saya juga bisa lebih dari itu!” kata saya. Dan buktinya . . . buk! Saya tumbuk dia. Tubuh kurus itu terpelanting. Orang-orang berkerumun. “Ada apa?” teriak Usmar Ismail. Dan layar siap terangkat. “Jassin memukul Chairil,” teriak yang lain.

Kami dilerai. Chairil didorong keluar. Nyata sekali ia kaget, karena selama ini saya sangat jarang berbicara dan hampir tak pernah marah. Kawan-kawan pun tercengang, bagaimana seorang Jassin yang begitu penyabar bisa memukul Chairil? Layar terbuka. Babak demi babak dimulai. Dan ternyata Chairil menonton dan duduk tepat di muka sekali. Semula saya tak memperhatikannya. Tapi saya lihat ia menunjuk-nunjuk saya…. Beberapa waktu kemudian, saya dengar ia suka ke Taman Siswa tempat Affandi biasa melukis. Eh dia latihan angkat besi. Tubuh kurus itu belajar angkat besi. “Aku mau pukul si Jassin,” katanya. Dan suatu sore dia muncul di ruang tamu. Saya bersiap menghadapinya. Tapi tiba-tiba, “Jassin, saya lapar,” dengan gayanya yang biasa. Gaya Chairil ….

Jumat pagi, 26 April 1949. Di atas delman dengan Takdir, kami ikut iring-iringan pemakaman Chairil menuju Karet. Di Karet, di Karet (daerahku yad.) sampai juga deru angin. Beraninya ia mengatakan itu dalam sajaknya, jauh sebelum ia meninggal. Saya kagum pada keberanian itu. Tak pernah saya berani membayangkan daerah di mana saya terbujur nanti. Pada usia 27 tahun ia sudah berbaring tanpa nyawa. Dan kematiannya ini digunakan oleh kaum republiken untuk memperlihatkan persatuan dan solidaritas. Berbondong-bondong kami mengiringi penyair itu ke Karet.

“Paus” Sastra Indonesia

Apa beda Angkatan 45 dengan Angkatan 66? Memang benar, secara estetika, karya Angkatan 45 dengan 66 tak banyak berbeda. Namun, saya melihat segi sejarah dan politik yang begitu kuat. Bagi saya, timbulnya suatu angkatan selalu harus disertai unsur estetika, politik, dan sejarah. Apakah orang tidak menyetujui atau mengkritik pandangan saya, hal itu saya anggap sebagai pendapat yang lain. Yang jelas, saya mendapat beragam Julukan pada awal 1950-an — karena ada yang menganggap pengaruh saya terlalu besar dalam kesusastraan Indonesia.

“Lihatlah pilihan Jassin dalam Gema Tanah Air. Berapa sastrawan yang dipilih itu masih hidup?” tanya Gayus Siagian menanggapi prasaran saya dalam Simposium Sastra Indonesia pertama. Gayus menganggap pilihan saya tak bernilai, tapi toh “sastrawan selalu senang jika sudah disebut-sebut Jassin,” katanya. Karena ia menganggap saya begitu berkuasa, ia menjuluki saya “Paus Sastra Indonesia”. Nama ini bukanlah sebuah pujian, tetapi kritik untuk saya.

Di dalam majalah Siasat Balfas mengatakan bahwa saya bukanlah seorang kritikus sastra yang baik karena ulasan saya kekurangan gagasan. Kritik sastra saya, menurut Balfas, lebih banyak memperhatikan banyaknya penerbitan daripada nilai-nilai buku itu sendiri. Dan bagi Balfas, saya tak lain seorang administrator karena saya tukang mengumpulkan dokumen dan buku-buku. Tak lama kemudian, eseis Rustandi Kartakusumah menjuluki saya sebagai seorang diktator. Katanya, apa yang saya katakan selalu langsung saja diterima orang dan saya mempergunakan kepercayaan orang-orang itu dalam menilai sastra. Saya tak tahu kenapa Rustandi yang juga berusaha menulis sajak itu harus berpendapat seperti itu. Yang saya tahu, saya memang tak selalu menyukai sajak-sajaknya.

Pekerjaan seorang kritikus adalah menilai. Kita harus bisa menilai sebuah karya sastra dengan perasaan dan sejumlah kriteria. Jika tidak, maka nilai kritik itu tak akan bisa bertahan. Apa pun yang dikatakan Balfas tentang ulasan sastra saya, toh buku-buku saya masih dipakai oleh anak-anak SMA dan mahasiswa fakultas sastra. Orang-orang masih mengutip pendapat yang saya ucapkan 20 atau 30 tahun yang lalu. Saya sendiri heran. Mungkin ulasan saya lontarannya cukup jauh ke depan. Saya tidak sekadar asal ngomong ketika membicarakan karya-karya sastra. Selain saya ingin kritik saya bernilai, saya cukup berhati-hati untuk tidak menyakiti orang. Pernah juga saya bertanya-tanya pada diri saya tentang kritik saya. Tapi ternyata saya lihat sastrawan pilihan-pilihan saya itu bisa survive. Seperti Amir Hamzah yang saya namakan Raja Penyair Pujangga Baru dan Chairil Anwar yang saya namakan Pelopor Angkatan 45.

Dulu saya mengkritik beberapa tulisan, hingga orang yang dikritik itu “mati”. Akibatnya, saya malu bertemu dengan penulisnya. Saya kira sekarang, saya lebih diplomatis dan menonjolkan segi positif karya seseorang. Jika saya tak membicarakan karya penulis, itu karena tulisannya memang tak baik atau saya sendiri tak mungkin membicarakan semua karya. Metode saya mengkritik juga sering dianggap tidak ilmiah. Saya memang khawatir jika menganalisa sebuah karya sastra dengan pendekatan yang terlalu ilmiah. Saya sangat mementingkan perasaan ketika membaca. Tapi toh saya bisa menghargai kritikus lain yang menggunakan pendekatan ilmiah, misalnya Subagio Sastrowardoyo dan Sri Rahayu Prihatmi. Mereka memang ilmiah, tapi tetap mementingkan kemanusiaan sebuah karya. Mereka menggunakan ilmu sastra, tetapi toh tetap menghargai keharuan.

Ditinggal Arsiti

Bukan Leila dari Medan saja yang pernah menghampiri hati saya. Dalam lembaran-lembaran dokumentasi kehidupan saya, ada nama-nama Tine de Bruin, Rumi, Arsiti. Tine de Bruin, seorang perempuan Indo Belanda berkulit putih bersih dan berambut pirang. Jika saya memang mengawininya, bukan karena saya mencintainya. Saya sangat membedakan arti cinta, sayang, nafsu, dan kasihan.

Saya iba pada Tine karena nasib yang menimpanya. Ketika saya mulai berkenalan dengannya Tine di pertengahan 1944, suami Tine ditangkap Jepang. Sejak itu ia harus mengurus kedua anaknya sendiri dari nafkah yang ia dapat dari bekerja sebagai pelayan restoran. Kami memang dekat, tak lepas karena perasaan iba saya kepadanya dan anak-anaknya. Tahun 1946, suatu malam. seorang wanita berparas sederhana mengetuk pintu rumah. Ia datang untuk melamar pekerjaan. Kebetulan pula, saya sedang mencari seseorang yang dapat membantu pekerjaan saya. Maka, ia, Arsiti, saya terima bekerja di rumah.

Arsiti memang tidak berpendidikan tinggi, tapi ia mau belajar. Selama membantu di rumah, ia mengerti kecintaan saya pada buku-buku. Dia juga mengerti tingkah laku kawan-kawan saya, seperti Chairil, yang nyelonong masuk ke rumah dan meminjam buku atau menyantap makanan saya. Secara alami, Arsiti dan saya menjadi sepasang kekasih. Dan kami memutuskan untuk menikah. Tak terkatakan betapa bahagianya ketika anak kami yang pertama, Hannibal, lahir pada 27 Mei 1947. Suatu malam, 1962, Arsiti mengeluh sakit perut. Mukanya pucat dan badannya panas. Ia berjalan ke serambi seperti setengah tak sadar. Disentuhnya pinggiran kursi. Ia masuk ke kamar lagi dan menatap wajahnya sendiri di muka cermin. Disentuhnya pipinya dan berkata, “Aku sehat, kan? Aku sehat, ya. . . ?” Kemudian ia berjalan ke sana kemari dengan gelisah. “Sebetulnya saya tak rela meninggalkan semua ini,” katanya. Jadi, ia sudah punya firasat. Suasana di rumah terbangun seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Saya merasa ada suara dari dunia lain yang merasuki telinga saya. Esoknya, saya bawa ia ke rumah sakit. Dan sore itu dia meninggal. Kami mengadakan pengajian sampai malam ketujuh. Kami kirimkan doa-doa untuk Arsiti. Malam kedelapan pengajian usai. Dan saya kesepian. Padahal, saya tetap ingin mengirimkan doa itu pada Arsiti.

Lalu, timbullah keinginan untuk bisa mengerti apa yang saya baca. Maka, selama itu, setiap kali saya membaca dan meresapi ayat-ayat Al Quran, saya merasa Arsiti tetap hadir dalam kehidupan saya. Sepertinya ia masih ada dan tetap berkomunikasi. Ketika ia sakit, ia pernah ngompol. Dan sampai ia meninggal, saya tak ingin mengganti sepreinya. Bau pesing itu menjadi nikmat buat saya…. Desember, sembilan bulan setelah Arsiti meninggal Lily — istri saya yang sekarang — sudah sering datang. Ia masih keluarga saya juga dan kami sudah lama saling kenal. Kami pun menikah pada 16 Desember 1962.

Pramudya dan Lekra

Saya sudah mengenal Pramudya Ananta Toer sejak 1946 ketika ia mengirimkan cerpennya ke Pantja Raja. Judulnya Ke Mana. Setahun kemudian ketika ia ditahan karena agresi militer Belanda, kami masih tetap berhubungan karena ia selalu meminjam buku-buku melalui Prof. Resink. Ketika ia bebas dari penjara pada 1949, hubungan kami tetap baik. Sebagai pengarang, Pram sangat produktif dan karya-karyanya yang baik bermunculan di berbagai majalah. Biasanya sebelum diterbitkan, karya-karyanya ditunjukkannya pada saya. Misalnya Mereka yang Dilumpuhkan dan Perburuan. Pada 1953-54 Pram diundang oleh Sticusa (Stichting Culturele Samenwerking), atau Yayasan Kerja Sama Indonesia-Belanda, ke Belanda. Ternyata, di sana ia mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan, sehingga waktu setahun itu tak dihabiskannya. Dalam keadaan frustrasi, ia kembali ke Tanah Air. Dan rupanya rasa frustrasi ini ditampung oleh Lekra. Ia diberi kesempatan berbicara di depan umum dan mengajar kesusastraan dan sejarah di Universitas Res Publika — yang sekarang menjadi Universitas Trisakti. Jika ada undangan-undangan ke luar negeri, Lekra mengirim Pram sebagai pemimpin rombongan. Dan tentu saja ia harus menyuarakan kecenderungan politik Lekra.

Saat itu terlihatlah sikapnya yang sudah kekiri-kirian. Sementara itu, redaksi Sastra selalu dikritik bahwa karangan yang dimuat tak memperlihatkan kerakyatan dan terlalu memihak pada kaum majikan. Kecaman semakin gencar dilancarkan melalui ruangan sastra Lentera di surat kabar Bintang Timur. Pengasuh ruang ini Pram sendiri. Cerpen-cerpen, esei, dan sajak yang dimuat di situ sifatnya sangat agresif dan menghantam kiri-kanan. Seingat saya tidak banyak karya yang dimuat itu memiliki nilai sastra yang tinggi. Bagi saya ini bukan hal yang baik bagi sastra dan kemanusiaan itu sendiri, karena penekanannya menjadi politis. Bayangkan, semua tulisan yang bagi mereka tak searah dengan aliran realisme sosial dihantam terus-menerus, baik yang dimuat di majalah Sastra maupun media lainnya.

Melihat sikap keras saya, Lekra berusaha dengan berbagai cara mempengaruhi saya. Pram pernah datang ke rumah. “Bung Jassin, sebenarnya rekan-rekan saya ingin menyerang Bung Jassin habis-habisan. Tapi saya yakinkan bahwa saya bisa bicara empat mata dengan Bung Jassin tentang bagaimana kita melihat sastra. Bung Jassin tak sadar sekarang ini adalah abad milik rakyat. Jadi, ukuran-ukuran sastra yang dipakai harus kerakyatan. Sebaiknya kita menjejakkan kaki ke bumi agar karya bisa mencapai orang-orang kebanyakan,” kata Pram. Saya kira sastra memiliki ukuran dan nilai-nilainya. Isinya boleh apa saja. Tak harus bicara tentang senjata atau perjuangan secara harfiah, toh sastra itu bisa ditujukan untuk siapa saja. Kita bisa bicara tentang sebuah keluarga dan itu bisa sampai ke rakyat. Namun, selama perdebatan itu, saya memang lebih banyak berdiam diri dan menjawab seperlunya saja. Tapi sudah jelas, kami tak berjumpa dalam suatu titik temu. Apalagi saya tetap menekankan bahwa karya apa pun — apakah dia memakai nama rakyat atau tidak — jika memang tak baik, saya tak bisa menerimanya sebagai karya sastra.

Awal 1960-an, sesudah Bung Karno mengumumkan Dekrit Presiden dan Manipol-Usdek serta Nasakom, jurang pemisah antara Pram dkk. dan saya semakin lebar. Dengan gencar mereka menyerang siapa saja yang dianggap tidak merakyat. Lama-kelamaan serangan mereka bukan hanya terhadap ide sastra kami, tapi juga kepada pribadi-pribadi kami. Agustus 1963. Kami merasa sudah saatnya menyatakan pemikiran tentang kesenian dan kebudayaan. Banyak seniman dan budayawan yang berdatangan ke redaksi Sastra di Jalan Raden Saleh 24. Ada Bokor Hutasuhut, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan banyak lagi. Mereka mengutarakan pemikiran bersama dalam membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai Manifes Kebudayaan. Kelompok ini sebenarnya tidak sengaja dibentuk dan tak pula memiliki kartu anggota atau persyaratan administratif. Kami hanya kumpul-kumpul berdasarkan pemikiran dan perasaan yang sama. Kami tulis pernyataan itu sebagai sebuah antitesis dari slogan Lekra, “politik adalah panglima”. Sebab, amatlah berbahaya jika semua cara dihalalkan demi politik.

Teks Manifes kami lontarkan pertama kali di harian Berita Republik dan mendapat dukungan dari banyak seniman di Jakarta, luar Jakarta, dan bahkan yang sedang tinggal di luar negeri. Teks yang ditandatangani 20 orang pada 17 Agustus 1963 itu juga dimuat di majalah Sastra. Tanggal 8 Mei 1964, pagi hari. RRI mengudarakan larangan resmi Presiden Soekarno terhadap Manifes Kebudayaan. Kami, para penanda tangan, dianggap kontra revolusi dan menentang Manipol-Usdek. Meski saya tak terlalu heran dengan larangan ini, saya kecewa juga. Toh saya mengerti posisi Soekarno yang memang tak bisa berbuat lain. Mungkin, sebagai seorang ayah ia tak ingin anak-anaknya bertengkar terus-menerus. Tentu saja pelarangan inilah yang diinginkan Lekra sejak semula.

Sejak hari itu dan seterusnya kami “dibersihkan” habis-habisan: di instansi pemerintah dan nonpemerintah, di kampus-kampus digeser atau langsung dinonaktifkan. Untuk menghindari pengganyangan yang lebih ganas, kami mengirim telegram permintaan maaf kepada Soekarno. Tapi ini pun hampir tak ada gunanya. Buku-buku para Manifestan dilarang terbit dan beredar. Mendadak buku-buku saya menghilang dari toko buku Gunung Agung. Penerbitnya menceritakan bagaimana Pemuda Rakyat ramai-ramai mendatangi toko itu dan mempertanyakan kenapa buku Jassin masih bercokol di situ. Dan tentu saja penerbitnya ketakutan. Di Lembaga Bahasa tempat saya bekerja, saya menyadari bahwa sebagian anak buah saya adalah mahasiswa yang sering datang ke Bintang Timur. Saya menyadari bahwa mereka memata-matai saya setiap hari. Tapi saya tak ambil pusing. Bahkan pernah secara terang-terangan salah satu dari mereka menyampaikan pesan Pram agar surat-surat pribadi Pram yang saya simpan dikembalikan. Barangkali ia takut persahabatan saya dengannya dulu itu bisa membahayakannya.

Udara busuk dan penuh kedengkian ini mencapai puncaknya ketika saya dibebastugaskan dari tugas mengajar di Fakultas Sastra UI. Sebelumnya saya sudah mengajukan surat pengunduran diri untuk menghindari korban yang berjatuhan. Saya jadi semakin rajin memperdalam Islam dan ayat-ayat Quran. Di tengah galau tak menentu itu, saya mencoba menerjemahkan The Spirit of Islam karya Syed Ameer Ali menjadi Api Islam. Sementara itu, Masagung, pemilik penerbit dan toko buku Gunung Agung itu, dengan baik hati tetap membayar honor buku-buku saya, meski untuk sementara buku itu dihentikan peredarannya.

Menerjemahkan Al Quran

Musim gugur di Leiden, September 1972. Di apartemen Kampung Melayu di mana mahasiswa Indonesia dan Malaysia wira-wiri, saya memandangi daun-daun memerah lantas gugur berderai-derai. Udara yang sejuk itu merangsang saya menerjemahkan ayat demi ayat Al Quran indah yang saya cintai itu. Buku Mulia itu saya tenteng ke mana-mana: London, Paris, dan kota-kota lainnya di Eropa. Sejak 1950 saya mulai berkenalan akrab dengan Al Quran. Sejak saya masih menjadi mahasiswa Prof. A.S. Alatas, Prof. Prijono, dan Prof. Hussein Djajadiningrat. Di Fakultas Sastra UI, kami diwajibkan belajar sastra Melayu yang banyak menggunakan idiom bahasa Arab serta ayat Quran. Maka, kami harus belajar bahasa Arab, serta ayat Quran. Ketika itulah saya melihat betapa indah dan puitisnya terjemahan Al Quran karya Marmaduke Pickthallt, The lorious Koran. Bandingkanlah dengan terjemahan Mahmud Junus dalam bahasa Indonesia, yang terlalu mengikuti lekuk bahasa Arab, hingga keindahannya berkurang. !

Pada saat Arsiti pergi, saya semakin ingin memasukkan ayat-ayat itu ke dalam diri saya dan mengirimkannya kepada orang yang pernah berarti dalam hidup saya. Saya pelajari Al Quran dengan saksama selama 10 tahun 5 bulan. Tidak hanya mempelajari Al Quran secara akademis saja, tapi bahkan ayat-ayat itu menjadi bagian dari diri saya. Di mobil saya selalu menghafal dan membaca ayat Kursi, atau ayat-ayat lain yang saya sukai. Maka, begitu orang mendengar si Jassin yang “tak tahu apa-apa tentang Islam” itu akan menerjemahkan Al Quran, ributlah semua. Lalu, atas inisiatif Gubernur Ali Sadikin, saya dipertemukan dengan Majelis Ulama cabang Jakarta di rumah Gubernur di Jalan Taman Suropati. Saya bawa dua kopor berisi beberapa Al Quran asli yang saya hayati dari hari ke hari, buku-buku terjemahan dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis, bermacam kamus Arab dan banyak catatan saya selama mempelajari Quran.

Melihat buku-buku bahasa Arab itu dan mendengar penjelasan saya, hilanglah desas-desus bahwa saya menerjemahkan langsung dari bahasa Belanda. Sekitar 20 orang ahli agama menanyai saya dengan ramah. “Pak Jassin, apakah Pak Jassin mengetahui bahwa menerjemahkan Al Quran itu memerlukan bermacam-macam ilmu. Dan kenapa Pak Jassin ingin menerjemahkan Al Quran?” tanya ulama pertama. “Sebelum saya menjawab pertanyaan Bapak, izinkanlah saya menjelaskan kenapa saya tertarik menerjemahkan Al Quran,” jawab saya. Maka, saya jelaskan ketertarikan saya, dulu hingga kepergian Arsiti. Saya jelaskan semua proses pemahaman dan penghayatan saya, dari hari ke hari hingga bertahun-tahun. Kemudian saya jelaskan pula bahwa saya ingin Al Quran dimengerti dan dihayati dengan bahasa yang baik dan puitis.

Mendengar penjelasan saya panjang-lebar, akhirnya para ulama itu mempercayai usaha saya. Dan akhirnya mereka bersedia membantu menilai hasil terjemahan saya kelak. Selanjutnya saya dipersilakan memilih sendiri anggota tim penilai itu, di antaranya Bapak Muchtar Luthfi al-Anshory, ulama yang berjiwa seni. Tentu saja, ada berbagai reaksi pada penerbitan terjemahan Al Quran yang saya beri judul Bacaan Mulia itu. Ada hantaman, ada caci-maki, bahkan ada tantangan untuk berdebat di muka umum. Dan ini semua saya hadapi dengan tenang. Tapi, hingga cetakan ketiga yang segera akan terbit, saya kira Allah swt. tetap melindungi saya dan mengetahui maksud baik saya. Saya ingat keterharuan ulama dan pengarang besar Hamka ketika saya sampaikan keinginan saya menerjemahkan Al Quran — begitu pengadilan kasus Langit Makin Mendung usai. Dia mengerti benar bahwa saya tahu bagaimana menerjemahkan Max Havelaar yang saya lakukan dalam 12 bulan itu, dan bagaimana pula menerjemahkan Al Quran. Bagi saya, yang terakhir ini adalah sebuah tugas yang harus saya lakukan dengan penuh penghayatan.

Itulah sebagian kecil dari dokumentasi kehidupan pribadi saya. Adapun Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Kompleks Taman Ismail Mrzuki, Jakarta, sampai kini menyimpan sekitar 30 ribu buku dan majalah sastra. Jika kau tengok lemari-lemari itu, yang penuh dengan kumpulan map-map tebal yang sudah mulai dikumpulkan sejak 45 tahun lalu, kau bisa lihat dokumentasi kehidupan sastra Indonesia. Impian saya — meski tak seliar mimpi para seniman — ialah mendirikan dokumentasi sastra dunia. Bertingkat-tingkat. Sastra Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Amerika Latin. Ya, semuanya. Jadi jika kita memasuki gedung itu, kita seperti memasuki dunianya sastra dunia. Dan itu saya usahakan di hari-hari saya yang tua ini. Meski sekarang pendengaran saya sudah semakin berkurang, hingga pernah menyerang rasa percaya diri, saya masih tetap memiliki keinginan yang kuat untuk membina sastra Indonesia. Saya masih berjalan kaki pulang-pergi dari rumah ke TIM, untuk bekerja bagi sastra dan seni. Saya berjalan dan berjalan sambil menghafal ayat Al Quran. Mungkin kematian sama dengan gugurnya daun dari pohonnya. Kematian adalah sesuatu yang alami dan tak perlu disedihkan. Tapi, saya tak mau memikirkannya. Karena itu, setelah lelah berjalan saya hanya beristirahat sebentar. Lalu berjalan lagi, membuka buku-buku itu lagi. Dan, bait-bait sajak Chairil itu terus nyala dalam diri…

Page Information:
www.insideyourmind.co.cc/famous-people

Find Your Way Home | LinkedIn | Facebook | Twitter | Contact Us